Prof Maksum Radji
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ﺍالْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَاَصْحْابِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي، وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي، يَفْقَهُوا قَوْلِي، أَمَّا بَعْدُ
Jamaah rahimakumullah,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِا لْعَدْلِ وَا لْاِ حْسَا نِ وَاِ يْتَاۤىِٕ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِ وَا لْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: Ayat 90).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
وَاِ ذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَ حْسَنَ مِنْهَاۤ اَوْ رُدُّوْهَا اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 86).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menghormati/mengasihi, maka ia tidak akan dihormati/dikasihi oleh Sang Pencipta”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku, agar engkau sekalian saling menyayangi dan menghormati hingga tidak ada seorang pun meremehkan orang lain dan bersikap sombong kepada orang lain.” (HR. Muslim).
Jamaah rahimakumullah,
Dalil-dalil di atas merupakan tuntunan luhur bagi umat Muslim tentang Ihtiram, yaitu sikap saling menghargai atau saling menghormati antara sesama manusia. Ihtiram adalah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim, karena ihtiram mengandung makna bersikap hormat dan memperlakukan seseorang dengan baik. sebagai wujud dari akhlakul mahmudah. Dengan saling menghormati sejatinya dapat menjadikan kehidupan lebih baik, damai, dan rukun.
Islam sangat menekankan pada dua dimensi nilai yang harus selalu diwujudkan yaitu akhlaq yang terpuji dan ‘aqidah yang benar. Aqidah yang benar akan membuahkan akhlaq yang baik, dan akhlaq yang baik harus berakar pada aqidah yang benar.
Dalam suatu riwayat yang dikisahkan bahwa pada suatu hari beberapa orang sahabat sedang berkumpul dalam satu majelis. Ada Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Bilal bin Rabah, dan Abu Dzar al-Ghifari, sementara Rasulullah sedang tidak bersama mereka.
Pada saat itu, Abu Dzar menyampaikan pendapatnya dengan berkata, “Aku mengusulkan agar pasukan diperlakukan demikian dan demikian.”
Mendengar usulan tersebut, Bilal menimpali, “Tidak, itu adalah usulan yang salah.”
Mendengar ucapan Bilal tersebut, Abu Dzar emosi lalu berkata, “Beraninya kamu menyalahkanku, wahai anak wanita berkulit hitam? Bercerminlah engkau. Lihatlah siapa dirimu sebenarnya?” kata Abu Dzar.
Bilal pun lantas berdiri dan dengan nada tinggi dia berkata, “Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,” lalu Bilal pun pergi menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Begitu bertemu Rasulullah, Bilal berkata, “Wahai, Rasulullah. Maukah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh Abu Dzar kepadaku?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Apakah yang telah dikatakannya?”
Bilal berkata, “Dia telah berkata begini dan begitu.” Mendengar jawaban Bilal, rona muka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berubah.
Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh Abu Dzar datang, seraya mengucapkan salam kepada Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Wahai, Abu Dzar. Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah.”
Teguran Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam tersebut telah membuat Abu Dzar sadar bahwa kemulian tidaklah karena rupa, harta dan keturunan, sehingga membuat Abu Dzar minta maaf kepada Bilal dengan tulus.
Menurut Imam al Qusyairi dalam kitabnya yang berjudul ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘ilmit Tasawuf, beliau menekankan bahwa kisah di atas merupakan suatu tuntunan dan pembelajaran bagi umat manusia dan bagi kita semua bahwa janganlah perbedaan pendapat menjadikan kita abai dengan mengucapkan kata-kata atau memberikan gelar yang bersifat merendahkan sesamanya, apalagi merasa diri yang paling benar dengan melontarkan caci maki dan ujaran kebencian, bahkan melucuti kehormatan sesama Muslim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,” (QS. Al-Humazah, ayat 1).
Makna ayat di atas, menurut Kitab Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, bahwa kehancuran, kerendahan dan siksaan yang sangat berat bagi setiap para pengumpat, yaitu orang yang menyakiti dan menghina kehormatan dan kemuliaan orang lain, dan bagi para pencela yaitu membuka aib orang lain yang dirahasiakan dengan lisan, mata, tangan, atau bagian tubuh lainnya untuk merendahkan orang lain.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seseorang merendahkan diri (tawadhu’) di hadapan Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Islam menekankan pentingnya berkomunikasi dengan lemah lembut dan tulus ketika menyampaikan pendapat atau kritik. Sikap merendahkan atau mengecam tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sejatinya sebuah pendapat merupakan upaya untuk membantu menyelesaikan masalah, bukan untuk menyakiti atau merendahkan martabat seseorang.
Namun demikian, fenomena yang terjadi di akhir zaman ini umat Islam seolah sudah mengabaikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Hujurat ayat 11.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurat: 11).
Dalam Kitab Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, dijelaskan bahwa penghinaan merupakan salah satu sebab yang menimbulkan pertikaian, maka Allah melarang orang-orang beriman menghina orang lain, karena bisa jadi orang yang dihina lebih baik daripada orang yang menghina. Dan janganlah seorang wanita menghina wanita lain, karena bisa jadi wanita yang dihina lebih baik daripada wanita yang menghina. Janganlah saling mencela kekurangan orang lain dan jangan saling menghina dengan memberi sebutan dan panggilan yang tidak disukai. Seburuk-buruk sebutan dan panggilan adalah yang mengandung kefasikan, yaitu sebutan dan panggilan yang dilarang agama, padahal mereka telah menjadi orang-orang yang beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat dari memberi sebutan dan panggilan buruk ini maka mereka adalah orang-orang yang jauh dari kebenaran, yang menzalimi diri mereka sendiri dengan melakukan hal-hal yang haram.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya, serta membimbing kita untuk senantiasa bersikap ihtiram terhadap sesama Muslim, dengan senantiasa berkata baik (qaulan sadida) dan dengan lembut (qaulan layyinan), sehingga ukhuwah umat Islam semakin kuat dan kokoh.
Aamiin Ya Rabbal Alamin.
*). Dirangkum dari beberapa sumber.