PERILAKU MUSLIM – TADHARRU’

Oleh : Prof Dr. H. Maksum Radji, M.Biomed, Apt.
(Pembina Yayasan Babussalam Socah)

PERILAKU MUSLIM

TADHARRU’


Pengertian Tadharru’

Tadharru’ adalah suatu perasaan yang menjadikan kita merasa sangat fakir, sangat tak berdaya, dan sangat membutuhkan Allah, suatu perasaan yang merendahkan diri, dan merasa bahwa dirinya sangat tak berdaya tanpa rahmat dan pertolongan Allah. Tadharru’ berarti kita memohon dan meminta kasih sayang dan pertolongan Allah segenap hati dan jiwa, serta menangisi segala bentuk ketidak berdayaan kita, sambil memohon kebaikan di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am [6]: 42-44).

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-A’raf [7]:55).

Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا أحَبَّ الله ُ عَبدًا ابـْتَلا َهُ لِيَسْمَعَ تَضَرُّعَهُ

“Apabila Allah menyenangi hamba maka dia di uji agar Allah mendengarkan permohonannya (kerendahan dirinya ketika berdoa —berthadarru).” (HR: Al-Baihaqi).
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar dalam menjalani hidup ini, senantiasa bersikap tadharru’. Maknanya adalah suatu perasaan yang menjadikan kita merasa sangat fakir dan sangat membutuhkan Allah untuk mendengarkan permohonan kita ketika kita berdoa. 

Tadharru’ mengandung makna tadzallul (kerendahan dan kehinaan diri) dan istiqamah (ketundukan diri). Oleh karena itu, ketika kita ber-tadharru’ kepada Allah SWT, akan menumbuhkan kesungguhan dan kekhusyu’an dalam beribadah dan berdoa serta menjadi sebab Allah SWT akan meninggikan derajat kita di sisi-Nya.

Imam Ahmad ibn Hanbal berkata, ber-tadharru’lah seperti orang yang tersesat di tengah samudra luas, padahal ia hanya memiliki sedikit persediaan.
Beliau berkata, “Bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu yang digunakannya supaya terapung. Ia menjadi semakin lemah dan gelombang air mendorongnya semakin dekat pada kematian. Bayangkanlah ia dengan tatapan matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit dengan putus asa sambil berteriak, “Ya Allah, ya Allah!”
Bayangkanlah betapa putus asanya dia dan betapa tulusnya ia meminta pertolongan Allah. Itulah yang disebut dengan tadharru’ di hadapan Allah.”

Tadharru’ merupakan bentuk ibadah yang sangat luar biasa, karena disitu terjalin hubungan antara  Allah dengan hambanya, meninggalkan segala urusan di dunia ini, tertunduk, tersujud menangisi segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuat, dan mengadu segala masalah yang dihadapi, menyatakan ketidakberdayaan kita sebagai manusia yang sangat lemah, tidak bisa berbuat apa-apa tanpa rahmat dan kasih sayang Allah, mengharap segala bantuan dan ridho dari-Nya, menjadikan-nya satu-satunya tempat tuk berserah diri, meminta rahmat dan pertolongan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita semestinya bersikap tadharru’di setiap waktu dan kesempatan. Berbagai musibah yang kita alami diharapkan menjadi sarana muhasabah kepada Allah. Ketika bermuhasabah kita menyadari akan kesalahan, memohon ampun kepada-Nya, lalu memanjatkan permohonan dengan suara yang lembut dan sikap tadharru’.       


Adab berdzikir dan berdoa

Dalam Tafsir Al-Baidhawy disebutkan penjelasan surah Al-A’raf: 55 bahwa, “Allah memerintahkan mereka agar berdo’a kepadanya dengan merendah diri dan ikhlas, ud’u Rabbakum tadharru’an wa khufyatan’. Artinya dengan merendah diri dan suara yang lembut. Suara yang lembut ini merupakan bukti yang ikhlas.”
Al-Qurthuby mengatakan dalam tafsirnya, tentang surah Al-A’raf: 55, “Merahasiakan do’a (tidak dengan suara nyaring) jauh lebih mulia, karena yang demikian itu tidak disusupi riya.”.
Menurut Ibnu Jarir, tadharru’ artinya merendahkan diri dan tenang untuk menaatinya. Sedangkan khufyatan berarti berarti kekhusyuan hati dan kebenaran keyakinan terhadap Wahdaniyah dan Rububiyah Allah, bisikan antara kalian dengan Allah, bukan dengan suara nyaring berbau Riya’.

Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. [QS: al-A’râf: 205].

Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk adab dalam berdoa. Adab ini mencerminkan nilai-nilai yang positif, antara lain adalah:
1.      Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar suara yang lirih.
2.      Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya kecuali dengan suara yang rendah.
3.      Sebagai pertanda sikap khusyuk dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa.
4.      Lebih mendatangkan keikhlasan.
5.      Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subahnahu wa Ta’ala.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.

Nabi SAW bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” (HR. Ahmad).

Dzikir dengan suara setelah sholat fardhu berjamaah.

Bagaimana halnya dengan berdzikir dengan suara jahr (keras) atau sirr (lembut, samar) setelah usai salat fardhu?
Menurut Ustadz Drs. Rik Suhadi, S.Th.I, dari Pondok Babussalam Socah, berdzikir dengan suara jahr (keras) atau sirr (lembut, samar) setelah usai salat fardhu ini termasuk persoalan ijtihadiyah di kalangan para ulama.
Adapun tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai mengeraskan suara dzikir sesudah shalat, adalah sebagai berikut:

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.”
(HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583).

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583).

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.”
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260).

Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Fathul Bari, 2: 325)

Sedangkan Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa, yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk mengeraskan suaranya.

Adapun para ulama yang tidak membolehkan atau memakruhkan dzikir dengan suara jahr, antara lain adalah:
1.      Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306).
2.      Imam Malik menyatakan bahwa zikir dengan suara keras setelah shalat fardhu berjama’ah adalah bid’ah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitabnya Fathul Baari.
3.      Syaikh Ibnu Saini bin Musa Rahimahullah dan Syaikh Abdul Hakim Bin Amir Abdat bahwa zikir dengan suara keras setelah shalat fardhu berjama’ah adalah bid’ah atau minimalnya makruh, berdasarkan Hadits shahih yang diriwayatkan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.”
4.      Imam Syafi’i dalam Kitabnya Al-Umm: “Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan (mengeraskan) suaranya sedikit tatkala dzikir setelah shalat adalah untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan”.
5.      Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sa`il halaman 79, menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, diantaranya: Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda. Kemudian akan mengganggu orang-orang yang masbuq, yakni yang terlambat dalam shalat, kemudian juga mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya).

Dengan demikian, masalah berdzikir dengan suara jahr (keras ) atau sirr (lembut, samar) setelah usai salat fardhu adalah termasuk persoalan ijtihadiyah di kalangan ulama, yang masing-masing berpegang kepada dalil yang shahih, oleh karenanya kita hendaknya mengedepankan sikap saling menghormati terhadap masing masing pendapat, tanpa menjadikannya sebagai alat pemecah belah, sehingga umat Islam tidak mudah di hadap-hadapkan dan dibenturkan antar sesama iman,  hanya karena persolalan ijtihadiyah.
Disamping itu sebagai generasi yang cerdas hendaknya kita mampu meluaskan wawasan kita terutama atas dalil dalil yang yang lebih rajih (kuat) dengan cara mengkaji dan mempelajari seteliti mungkin dengan tanpa mengabaikan pendapat2 ulama yg benar-benar ahli dalam bidangnya agar kita benar benar punya pegangan kuat dalam ber-ittiba’ (mengikuti) cara beribadahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga bermanfaat
Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply