ITSARIYAH SIFAT YANG MULAI PUNAH

 

ITSARIYAH SIFAT YANG MULAI PUNAH

Itsariyah adalah rasa kebersamaan dan kepedulian terhadap yang lain dalam setiap pergaulan atau interaksi sosial di masyarakat. Mendahulukan kepentingan umat atau masyarakat, mengorbankan kepentingan sendiri walaupun terkadang dirinya berada dalam kondisi yang papa dan sangat membutuhkan. Itsariyah ini merupakan lawan dari sifat ananiyah, yang biasa disebut dengan egoistis, sikap mendahulukan kepentingan dan hak-hak diri sendiri tanpa mau memperhatikan dan memahami  kebutuhan, dan hak-hak orang lain.  

Di zaman yang kian canggih ini banyak orang saling berlomba dan bersaing untuk memperoleh kenyaman dan peningkatan status hidup, tidak jarang ditemukan  diantara mereka saling mendesakkan kehendak dan kepentingannya masing-masing. Kalau keadaan semacam ini terus terbiarkan, maka pada gilirannya akan memicu timbulnya keonaran, kekacauan, bahkan kebrutalan dan keberingasan dan berbagai bentuk anarkisme yang terjadi di tengah masyarakat, lebih-lebih jika sifat ini terjangkit pada orang –orang yang memiliki wewewnang dan pengaruh luas di masyarakat maka dampaknya semakin akan semakin besar. Jika sifat ananiyah ini menjakiti para  pengusaha maka yang  akan terjadi adalah prilaku monopoli, menimbun, dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga sangat mencekik kehidupan ekonomi masyarkat kecil yang lemah. Hal ini akan mudah terjadi jika sifat ” itsariyah ” sudah tidak muncul lagi ditengah-tengah masyarakat. 

Dizaman Rasulullah Shallalhu ‘alaihi wasallam, sifat itsariyah ini bisa kita temukan pada diri orang-orang Anshar terhadap kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah ke Madinah. Sebagaimana Allah telah abadikan peristiwa ini di dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 9 . Allah berfirman :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” ( QS. Al-Hasyr : 9 ).

HUDZAIFAH Al-‘Adawi bercerita, bahwa suatu hari saat Perang Yarmuk ia mencari saudara sepupunya sambil membawa air.  Ia pun menemukan saudaranya itu dan menawarinya minum. Saudaranya mengangguk mengiyakan. Tapi ia mendengar ada orang mengerang kasakitan, lalu  Ia menyuruh Hudzaifah memberikan air itu pada laki-laki itu yang ternyata Hisyam ibn Al-‘Ash. Hudzaifah menurut, lalu menawarkan air pada Hisyam.  Hisya  mengangguk, namun sebelum sempat air itu diminum ia mendengar seseorang yang mengerang kesakitan.  Hisyam menyuruh pergi memberikan air itu padanya.  Ketika Hudzaifah sampai pada laki-laki itu, ternyata ia telah mati.  Lalu ia kembali menemui Hisyam.  Ternyata Hisyam pun telah syahid. Buru-buru Hudzaifah menemui saudaranya lagi, tapi ternyata ia pun telah dipanggil Allah.  Mereka meninggal sebelum sempat meneguk air yang dibawa Hudzaifah karena lebih memilih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.  ( Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa al-Khusraujirdy –al-Khorosany, Dalam kitab Sya’bu-al-Iman , Sya’bu-al-Iman lilbaihaqi ).

Islam sejak awal sudah mengajarkan tentang kebersamaan, peduli sosial, dan rasa persaudaraan yang kuat diantara sesama. Rasa kebersamaan dan kepekaan sosial ini sama sekali tidak karena adanya unsur materi atau fanatisme kesukuan atau perbedaan warna kulit, bahasa dan sebagainya, namun sifat mulia ini muncul dari dan tumbuh dari kesadaran iman bahwa manusia adalah umat yang satu, yang tidak bisa hidup sendiri-sendiri tanpa bantuan dan dan pertolongan orang lain. 

Kehidupan para sahabat telah memberikan contoh yang sangat baik tentang persaudaraan dan kebersamaan ini , bahkan begitu pentingnya kebersamaan ini sehingga Allah menetapkan dalam Al-Qur’an bahwa manusia akan senantiasa ditimapa kehinaan dimana saja mereka berada jika tidak menyambung hubungan baik dengan berpegang kepada tali agama  Allah dan menyambung tali sosial yang kuat dengan sesama manusia. sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Ali mran ayat 112 

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia” ( QS. Ali Imran : 112 ).

Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply