oleh : Drs. Rik Suhadi, S.ThI (Direktur Pondok Babussalam Socah)
a. Dalil dalil dzikir dg mengeraskan suara :
– قول ابن عباس:
إن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – ، وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته.
Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.”(HR. Imam Bukhari)
riwayat lain, yaitu:
“كنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله صلي الله عليه وسلم بالتكبير”
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.”(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
b. Dalil dalil dzikir dengan melembutkan suara
QS. Al –a’raf 205 , 55.
(205) وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
205. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
(55)ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين
55. Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(QS. Maryam ayat 3)
إذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut”
يا أيها الناس ! اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم و لا غائبا إنكم تدعون سميعا قريبا و هو معكم
Ringankanlah atas diri kalian ( jangan keraskan suara ) karena kalian tidak berdo’a kepada dzat yg tuli dan tidak kpd yg ghaib akan tetapi kalian berdo’a kepda Dzat yang maha mendengar, maha dekat dan Dia ada bersama kalian (Muttafaq ‘alaih ).
Pendapat – pendapat ulama :
Ulama –ulama yang membolehkan dengan suara jahr ( mengeraskan sura dalam dzikir )
1. Ibnu Hazm. Beliau berkata,
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
2. Ath Thobari, beliau berkata,
فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة
“Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)
3. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan
Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
B. Ulama- Ulama yang tidak membolehkan atau memakruhkan dengan suara jahr
Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306
Imam Malik (pendiri mazhab Maliki) bahwa zikir dengan suara keras setelah shalat fardhu berjama’ah adalah MUHDATS (BID’AH), sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitabnya Fathul Baari.
Sebagian Ulama lain, diantaranya Syaikh Ibnu Saini bin Musa Rahimahullah dan Syaikh Abdul Hakim Bin Amir Abdat bahwa zikir dengan suara keras setelah shalat fardhu berjama’ah adalah bid’ah atau minimalnya MAKRUH , berdasarkan Hadits shahih yang diriwayatkan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.”
4. Imam Ath-Thobari Rahimahullah berkata,
فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى
“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.”
5. Imam Syafi’i dalam Kitabnya Al-Umm:
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم
“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan (mengeraskan) suaranya sedikit tatkala zikir setelah shalat adalah untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”.
6. Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sa`il halaman 79 menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, diantaranya : Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda. Kemudian akan mengganggu orang-orang yang masbuq,yakni yang terlambat dalam shalat, kemudian juga mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya).
Kesimpulan :
Masalah berdzikir dengan suara jahr (keras ) atau sirr ( lembut ,samar ) setelah usai salat fardhu adalah termasuk persoalan ijtihadiyah di kalangan ulama yang masing-masing berpegang kepada dalil yang shahih, oleh karenanya kita hendaknya mengedepankan sikap saling menghormati terhadap masing masing pendapat, tanpa menjadikannya sebagai alat pemecah belah, sehingga umat Islam menjadi mudah di hadap-hadapkan dan dibenturkan antar sesame iman hanya karena persolalan ijtihadiyah.
Disamping itu sebagai generasi yang cerdas hendaknya kita mampu meluaskan wawasan kita terutama atas dalil dalil yang yang lebih rajih ( kuat ) dengan cara mengkaji dan mempelajari seteliti mungkin dengan tanpa mengabaikan pendapat2 ulama yg benar-benar ahli dalam bidangnya agar kita benar benar punya pegangan kuat dalam ber ittiba’ ( mengikuti ) cara beribadahnya Rasulullah saw.
Paparan diatas secara singkat hendaknya mampu membuka wawasan berfikir kita .
Demikian semoga bermanfaat.