AMAL YANG DITERIMA

AMAL YANG DITERIMA

Oleh: Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt.
(Ketua Pembina Yayasan Babussalam Socah)

 

Suatu hari Atha As-Salami ra. salah seorang tabi`in, bermaksud menjual kain yang telah ia tenun kepada pedagang kain di pasar. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang pedagang kain, kemudian ia mengatakan, “Ya, Atha sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga saya tidak dapat membelinya.”

Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis. Melihat Atha menangis, sang penjual kain berkata, “Atha sahabatku, aku mengatakan dengan sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya, kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu dan membayarnya dangan harga yang sesuai.”

Mendengar tawaran tersebut, Atha menjawabnya, “Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya? Ketahuilah sesungguhnya yang menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis disebabkan karena aku menyangka bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi di mata engkau sebagai ahlinya, ternyata kain itu ada cacatnya. Begitulah aku menangis kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena aku menyangka bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun-tahun ini tiada cacatnya sama sekali, mungkin di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis.”

 

Kekhawatiran Atha pada kisah di atas, perlu mendapatkan perhatian kita semua. Sebab  tidak penghuni neraka tidak hanya orang-orang yang selama hidupnya di dunia kegemarannya bermaksiat, pencandu narkoba, korupsi, berzina, dan lain sebagainya. Ternyata, di antara penghuni neraka itu ada manusia yang rajin beramal, bahkan sampai keletihan dalam beramal saking banyaknya amalannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ghasyiyah: Ayat 1-4):

هَلْ اَتٰٮكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِ,  وُجُوْهٌ يَّوْمَئِذٍ خَاشِعَة, عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ,  تَصْلٰى نَارًا حَامِيَة.

 

 

 

“Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari kiamat)? Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina, (karena) amalan-amalan yang melelahkan, mereka memasuki api yang sangat panas, menyala nyala (neraka).” (QS Al-Ghasyiyah: 1-4).

 

Itulah gambaran tentang salah satu ahli neraka. Mereka yang rajin melaksanakan amal-amal ibadah yang melelahkan karena banyaknya amal yang dilakukan, namun mereka dimasukkan ke dalam api yang sangat panas (neraka). (QS. Al-Ghasyiyah: 3–4).

 

Rangkaian ayat-ayat di awal surah ini bercerita tentang neraka dan para penghuninya.

Ternyata salah satu penyebab orang dimasukkan ke neraka adalah amal ibadah yang banyak dan beragam, tapi penuh cacat; baik motif dan niatnya, maupun kaifiyat (tatacara) yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.

 

Sayyidina Umar bin Khathab selalu menangis ketika mendengar ayat ini dibacakan.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dalam satu riwayat dari Abu Imran al-Jauni, bahwa suatu ketika Umar bin Khatab pernah melewati sebuah kuil, yang ditinggali seorang rahib nasrani.

Umar lalu memanggilnya, “Hai, Rahib! Hai, Rahib!” Rahib itu pun menoleh. 

Ketika itu, Umar terus memandangi sang rahib. Dia perhatikan ada banyak tanda-tanda ibadah di tubuhnya. Kemudian tiba-tiba Umar menangis.

Beliau pun ditanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat Anda menangis? Mengapa Anda menangis ketika melihatnya.”

Sayyidina Umar menjawab, “Aku teringat firman Allah dalam Al-Quran, (yang artinya): 

“Rajin beramal lagi kepayahan, namun memasuki neraka yang sangat panas”. Itulah yang membuatku menangis. 

 

Ibadah artinya tunduk kepada Allah yang menciptakan. Menurut Ibnu Katsir, ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, ibadah ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak Nampak, serta dilaksanakan secara istiqomah. 

Dalam tuntunan Islam, ibadah seseorang akan diterima dan diberi pahala oleh Allah apabila telah memenuhi syarat utama antara lain adalah: 

 

  1. Iman.

Dalam Al Qur’an ada dua kata yang saling berkaitan, yaitu iman dan amal shaleh. Amal seseorang tidak akan tercatat, kalau amalan tersebut tidak didasari oleh iman yang ada di dalam hatinya. Begitupun iman seseorang akan dipertanyakan jika tidak berbuah amal.

Sudah selayaknya kita bersyukur, Allah jadikan kita menjadi seorang mukmin, karena iman merupakan salah satu syarat agar ibadah kita diterima oleh Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, iman adalah cahaya yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sebagai anugerah dan hadiah dari sisi-Nya”. Jadi iman itu hidayah yang diberikan kepada hamba yang dikehendakinya.

Allah Ta!ala berfirman,


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَن مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97).

 

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).

 

  1. Ikhlas.

Ibadah harus dilakukan secara ikhlas, dengan kesadaran semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji ataupun karena dipaksa.

Allah berfirman:

“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar”.

(QS. Al-Bayyinah:5).

 

Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An‘âm: 162).

Nabi bersabda: “Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mencari ridla-Nya.” (HR. Al-Nasâ`i).

 

  1. Ibadah yang dilakukan harus disertai ilmunya.

Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Israa’:36).

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata: Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh sebab itu untuk memahami ibadah yang kita kerjakan kita perlu mempelajari tuntunan yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi agar amal ibadah kita diterima sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2: 282).

Syarat diterimanya amal ibadah, bukan hanya ikhlas, akan tetapi Ibadah bisa diterima jika mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam segala hal, dengan firman-Nya,

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al Hasyr: 7).

Dan Allah Ta’ala juga berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.

(QS. Al-Ahzaab: 21).

Rasulullah juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu tertolak”. (HR. Muslim).

Umar bin Khattab pernah mengatakan: “Siapa yang beribadah tanpa disertai ilmunya, maka ibadahnya tertolak dan tidak diterima.” Jika ibadah dilakukan tanpa disertai pengetahuan tentang ilmunya, maka ibadah tersebut bisa salah dalam tata cara serta tidak dipenuhi syarat dan rukunnya.

 

Mu’adz bin Jabal mengatakan, “Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

 

  1. Sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw.

Tata cara ibadah harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Al-Ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad ) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan apa apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al Hasyr: 7).

Allah Ta’ala juga berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS. Al Ahzaab: 21).

Dan Rasulullah juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau: “Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

Rasulullah telah bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari). Makna hadits ini mencerminkn bahwa dalam beribadah harus sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.

 

Hal ini sesuai dengan sabdanya yaitu, “Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik bimbingan, adalah bimbingan Muhammad, sedang sejelek-jelek perkara adalah mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah (penyimpangan dengan mengada-ada) adalah sesat.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad dan Darimi).

  1. Niat karena Allah

Niat merupakan dasar dari setiap amal ibadah yang kita lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى


“Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niat, dan setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya”. (QS. Al Kahfi: 110).

Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap amal ibadah akan tergantung dengan niatnya. Pahalanya pun bergantung dengan sejauh mana keikhlasannya dalam melakukan ibadah tersebut. Jika kita beribadah tanpa ada niat sama sekali, sangat memungkinkan ibadah kita tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menurut Ibnu Katsir, landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar sesuai dengan syari’at Rasulullah. Syarat niat malakukan ibadah ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan.

Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari niat yang ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah, niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah. Oleh karena itu, di dalam mengerjakan apapun dalam amal ibadah harus disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah, agar amal ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala.  

Demikianlah syarat Ibadah yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua, sehingga kita bisa melaksanakan seluruh amal ibadah kita dengan benar dan istiqomah.

Amin Yaa Rabbal Aalamiin.

 

*(Disarikan dari berbagai sumber).

Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply