Ust. Rik Suhadi Pengasuh Ponpes Babussalam Socah Bangkalan
Bagi sebagian orang yang skeptis memandang puasa, ibadah puasa ini dirasakan membebani dirinya dan kurang disuka karena terasa menghalangi kenyamanan dan kebiasaan makan minum kesukaannya di siang hari. Padahal setiap ibadah yang telah disyri’atkan oleh Allah kepada hamba-hambanya-Nya yang beriman seperti puasa misalnya, bukanlah tujuannya untuk menyiksa mereka agar lapar dan dahaga, atau seperti perintah shalat misalnya bukanlah supaya mereka capek dan letih, perintah zakat juga bukan untuk menjadikan mereka miskin karena harus mengeluarkan sebagian hartanya, begitu juga ibadah-ibadah yang lain, semuanya, kemanfaatan dan kebaikan-kebaikannya akan Kembali kepada pelakunya sendiri. Kebaikan dan kemanfaatan dari ibadah yang telah dilakukannya dengan Ikhlas dan istikamah itu, nantinya akan berpulang kepada pelakunya, dan akan dirasakan langsung kemanfaatannya baik dalam kehidupan dunia ini lebih-lebih dalam kehidupan di akhirat kelak.
Namun terkadang Sebagian dari kaum muslimin kurang mampu memahami dan menemukan hikmah atau rahasia kebaikan dari sebuah ibadah yang disyari’atkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala. Perintah shalat misalnya, apa sih manfaat yang akan dirasakan secara nyata oleh pelakunya dalam kehidupan ini? untuk menemukan jawabannya salah satu diantaranya adalah Firman Allah Subhaanahu wata’ala tentang perintah shalat:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“…dan dirikanlah shalat sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar…” (QS. Al-Ankabut: 45)
Pelaku shalat yang baik dan benar serta khusyuk dalam shalatnya akan jauh dari prilaku keji dan munkar, karena dia konsisten dengan apa yang dibaca dalam shalatnya dan yang dia dialogkan dengan Allah dalam shalatnya serta isyarat-isyarat yang ada dalam shalatnya dia tegakkan dalam kehidupan di luar waktu shalatnya. Dan itulah sesungguhnya makna menegakkan shalat. Karena pengaruh atau bekas shalatnya terpancar dalam prilaku kesehariannya; dan bisa dibayangkan jika setiap orang dalam sebuah keluarga misalnya sudah mampu menegakkan shalat seperti itu, artinya shalatnya telah benar-benar ter-aplikasikan dalam kehidupan nyata, maka akan tercipta sebuah keluarga yang jauh dari setiap prilaku keji dan munkar. Dan tentunya akan sangat berdampak luas prilaku Kebajikan ini secara sosial jika setiap keluarga sudah mampu menegakkan prilaku shalat yang benar ini dalam aktivitas kesehariannya.
Demikian juga tentunya dengan ibadah puasa (siyam). Bagi kaum muslimin puasa itu lebih baik sekiranya mereka mengetahui, sebagaimana firman Allah:
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُو
“Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqoroh: 184)
Ibadah puasa (siyam) merupakan ibadalah fisik, jiwa dan spiritual sekaligus. Artinya orang yang menjalani ibadah puasa, dia harus melakukan aktivitas mulai dari niat yang merupakan dasar spiritual.
Puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari melakukan sesuatu yg membatalkan puasa seperti makan, minum dan jimak saja, tetapi ada aspek batiniyah yang ikut terlibat diadalamnya. Terlibatnya dimensi batiniyah atau kejiwaan dalam puasa ini memberikan efek yang lebih mendalam dibandingkan sekedar menahan lapar dan dahaga, karena tumpuan puasa (siyam) ini lebih kepada pengendalian diri dan keikhlasan.
Dua faktor ini (pengendalian dan keikhlasan) ini sangat penting sebab efek yang akan ditimbulkannya akan sangat luas merambah kedalam semua lini kehidupan sosial manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat secara luas.
Kita bisa melihat dalam kehidupan nyata, betapa banyak kehidupan rumah tangga menjadi retak karena masing-masing diantara mereka tidak mampu mengendalikan diri dengan baik. Betapa banyak orang yang melakukan penyimpangan dan pelanggaran aturan hukum dan norma-norma agama karena mereka gagal dalam melakukan pengendalian diri sehingga mereka berani melakukan koropsi, markup, manipulasi, jual beli jabatan dan lain sebagainya.
Tidak kalah pentingnya dengan peran keikhlasan yang merupakan faktor spiritual dalam pelaksanaan puasa (siyam) karena ini menjadi penentu apakah amalan yang kita lakukan itu bernilai ibadah atau bukan, semuanya bergantung pada niat Ikhlas ini. Kemampuan menahan lapar, dahaga dan menahan syahwat adalah bermula dari kemurnian hati dan jiwa yang melandasinya untuk melakukan pekerjaan seberat apapun, sehingga menjadi ringan, karena titik harapannya dari pekerjaan yang dilakukannya adalah Allah semata, untuk mendapatkan ridho-Nya. Sehingga dengan kondisi jiwa yang jernih seperti itu, nafas perjuangannya menjadi panjang, karena tidak butuh perhatian yang lain selain Allah Subhaanahu wata’ala.
Oleh karenanya berpuasa itu menjadi lebih baik, karena dengan menjalankan puasa jiwa atau mental menjadi Tangguh dan sehat. Sedangkan jiwa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fisik, bahkan pengaruh jiwa lebih dominan dibandingkan fisik karena segala aktifitas fisik kita bersumber dari jiwa.