Perilaku Muslim “Itsar”

Prof Maksum Radji

الْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُولِهِ الْـمُصْطَفَى، وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى، أَمَّا بَعْد

Jamaah Rahimakumullah,

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa pada suatu hari, ada seorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan lapar dan Rasulullah mengirim pesan kepada para istri beliau untuk mencari makanan. Namun, para istri Rasulullah hanya memiliki air sebagai makanan. 

 

Kemudian salah seorang dari kaum Anshar bersedia untuk menyambut tamu tersebut. Orang Anshar membawa tamu tersebut ke rumahnya dan meminta istrinya untuk menyambut tamu tersebut. Akan tetapi, istrinya hanya memiliki cukup makanan untuk anak-anak mereka. Namun dengan tulus hati, mereka memutuskan untuk memberikan makanannya kepada tamu tersebut. 

 

Keesokan harinya, Rasulullah memberikan pujian kepada pasangan tersebut karena tindakan mereka yang luar biasa. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat dalam surah Al-Hasyr ayat 9.

 

وَا لَّذِيْنَ تَبَوَّؤُ الدَّا رَ وَا لْاِ يْمَا نَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَا جَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَا جَةً مِّمَّاۤ اُوْتُوْا وَيُـؤْثِرُوْنَ عَلٰۤى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَا نَ بِهِمْ خَصَا صَةٌ ۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَـفْسِهٖ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ 

 

“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).

 

Kisah di atas menunjukkan betapa mulianya sikap itsar yang telah mendatangkan berkah dan pujian dari Allah, serta memperkuat ikatan ukhuwah di antara sesama Muslim. Dalam riwayat Imam Muslim, disebutkan bahwa orang Anshar yang melakukan perilaku terpuji ini adalah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, dan istrinya adalah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha.

 

Menurut Ibnu Taimiyyah, ayat al-Qur’an diatas mengandung makna tentang Itsar, yaitu perilaku orang-orang Ansor yang mendahulukan kepentingan orang-orang Muhajirin daripada kepentingannya sendiri.  

Mereka mengutamakan orang lain padahal ia sendiri juga sedang dalam keadaan kesusahan. Itsar lebih utama daripada bersedekah. Karena tidak semua orang yang bersedekah itu berada dalam kesusahan.

 

Oleh sebab itulah maka derajat Itsar lebih tinggi daripada sifat dermawan. Seseorang disebut dermawan adalah jika memberikan sesuatu, dengan menyisakan sedikit atau sama untuk dirinya. 

 

Sedangkan itsar, lebih mengutamakan kepentingan orang lain, padahal ia sendiri juga sangat membutuhkannya.

Demikianlah akhlak luhur para sahabat Nabi yang mulia. Kaum Anshar benar-benar menyambut kaum Muhajirin yang datang kepada mereka, mereka menerima dengan tangan terbuka, bahkan orang-orang Anshar saling berlomba-lomba memberikan segala apa yang mereka bisa berikan kepada sesama. Padahal pada saat itu mereka sendiri pun juga amat membutuhkan.

 

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوا بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

 

“Sesungguhnya keluarga Asy’ari jika perbekalan makanan mereka habis tatkala berperang atau keluarga mereka kekurangan makanan di Madinah, mereka mengumpulkan yang ada di kain-kain mereka, kemudian meletakkan di sebuah nampan lalu membaginya sama rata. Mereka termasuk saya dan saya juga termasuk mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Dalam riwayat lainnya, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْاِثْنَيْنِ، وَطَعَامُ الْاِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ، وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ

 

“Makanan untuk satu orang bisa mencukupi dua orang, makanan untuk dua orang bisa mencukupi empat orang, dan makanan untuk empat orang bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim).

Makna Hadits-hadits di atas adalah anjuran untuk saling berbuat baik dalam hal makan dan berbagi, serta mendahulukan orang lain dari diri sendiri. Hal tersebut menunjukkan sifat Itsar yaitu berbagi tatkala sama-sama membutuhkannya.

 

Jamaah Rahimakumullah,

Itsar adalah salah satu keutamaan hati seseorang yang lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri pada sesuatu yang bermanfaat baginya dan memberikannya pada orang lain. 

Perilaku mulia Ini termasuk puncak akhlaqul karimah, dimana seseorang mampu menahan diri dari sebagian hajatnya sampai ia memberikan kepada saudaranya seiman yang lebih membutuhkannya.

 

Keutamaan perilaku Itsar

Beberapa keutamaan Itsar, yang perlu kita ketahui antara lain adalah, 

 

Pertama, mendapatkan kasih sayang Allah.

Dalam salah satu Hadits diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah. Lalu ia bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling dicintai oleh Allah? Dan apa amalan yang paling dicintai oleh Allah”? 

Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

 

أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ وأحبُّ الأعمالِ إلى اللهِ عزَّ وجلَّ سرورٌ يُدخلُه على مسلمٍ أو يكشفُ عنه كُربةً أو يقضي عنه دَينًا أو يطردُ عنه جوعًا ولأن أمشيَ مع أخٍ في حاجةٍ أحبُّ إليَّ من أن أعتكفَ في هذا المسجدِ ( يعني مسجدَ المدينةِ ) شهرًا ومن كفَّ غضبَه ستر اللهُ عورتَه ومن كظم غيظَه ولو شاء أن يمضيَه أمضاه ملأ اللهُ قلبَه رجاءَ يومِ القيامةِ ومن مشى مع أخيه في حاجةٍ حتى تتهيأَ له أثبت اللهُ قدمَه يومَ تزولُ الأقدامُ

 

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat untuk manusia. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah kegembiraan yang engkau masukan ke hati seorang mukmin, atau engkau hilangkan salah satu kesusahannya, atau engkau membayarkan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Dan aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi kebutuhannya itu lebih aku cintai daripada ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya. Dan siapa yang menahan marahnya maka Allah akan tutupi auratnya. Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia bisa menumpahkannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan di hari kiamat. Dan barangsiapa berjalan bersama saudaranya sampai ia memenuhi kebutuhannya, maka Allah akan mengokohkan kedua kakinya di hari ketika banyak kaki-kaki terpeleset ke api neraka”. (HR. Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani).

 

Kedua, Mendapatkan kemudahan di dunia dan di akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim).

Makna Hadits di atas adalah seseorang yang memiliki sikap Itsar akan mudah membantu sesamanya dengan senang hati, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan kesulitannya di dunia dan di akhirat kelak.

 

Ketiga, orang yang Itsar akan disayangi manusia.

Itsar adalah akhlak terpuji di mana seseorang lebih memprioritaskan orang lain daripada dirinya sendiri. Sehingga perilaku demikian akan menumbuhkan kasih sayang dan diskusi oleh orang lain. 

Hal ini disebabkan dari sifat seseorang adalah menyukai orang-orang yang berbuat baik kepadanya dan berkorban untuknya.

 

Sahl bin Sa’d as-Sa’idy radhiallahu ‘anhu berkata, “Seseorang mendatangi Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal, jika aku mengerjakannya aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai pula oleh sekalian manusia.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR Ibnu Majah, hadits hasan).

 

Seorang yang bersifat istar yang suka membantu kesulitan orang lain dengan tulus ikhlas, niscaya akan dicintai dan disukai oleh saudara dan para sahabatnya, serta oleh orang-orang di sekelilingnya.

 

Hukum Itsar

Dari uraian di atas jelaslah bahwa Itsar merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia yang dimiliki oleh orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Sungguh tidak semua orang mampu melakukan perbuatan mulia tersebut. Terlebih lagi ketika seseorang berada di tengah himpitan ekonomi yang membuat ia juga membutuhkan sesuatu dalam kehidupannya.

Betapa luhur hati seseorang yang memberikan air minum nya kepada orang lain yang tengah kehausan, padahal ia sendiri juga sedang merasa haus.

 

Sesungguhnya surga diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu menyedekahkan hartanya saat dia memiliki kelapangan rizki, apalagi ketika ia juga sangat membutuhkan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Ali Imran: ayat 134, 

 

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

 

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali Imron: 134).

Ayat di atas menunjukkan bahwa perbuatan di atas merupakan bagian dari sifat orang penghuni surga, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, 

 

لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

 

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

Namun demikian, sifat Itsar yang terpuji ini adalah jika diimplementasikan dalam urusan duniawi, bukan dalam mengerjakan kewajiban kita secara syar’i dalam urusan ukhrawi dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh sebab itu kita perlu memperhatikan hukum Itsar. 

 

Menurut Ibnul Qayyim, Itsar yang berhubungan dengan ukhrawi dan kewajiban kita terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, lebih mulia daripada Itsar yang berhubungan dengan makhluk.

Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin hukum Itsar dibagi menjadi 3 yaitu:

 

Pertama, Haram.

Sikap dan perilaku Itsar yang asalnya terpuji ini, justru haram dilakukan, ketika seseorang mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang diwajibkan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya. 

 

Misalnya, seorang yang belum berwudhu dan hanya memiliki air yang cukup untuk dirinya sendiri, sementara ada orang lain yang juga belum berwudhu dan tidak memiliki air, maka dilarang baginya memberikan air tersebut untuk saudaranya. Karena kewajiban orang yang memiliki air saat masuk waktu sholat adalah berwudhu’ dengan air tersebut, sedangkan saudaranya yg tidak memiliki air, maka gugurlah kewajiban nya untuk berwudhu dengan air, dan ia dapat bertayammum.

 

Demikian pula ketika seseorang hanya memiliki satu helai kain untuk menutup aurat nya, maka terlarang baginya untuk memberikan kain tersebut kepada orang lain karena ia wajib menutup aurat nya sendiri terlebih dahulu.

 

Kedua, Makruh.

Itsar bersifat makruh dalam perkara yang mustahab atau sunnah. 

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian menghukumi makruh dan sebagian lain menghukumi mubah. Namun meninggalkannya adalah lebih afdhal kecuali di dalamnya ada maslahat.

 

Ketika seorang pada saat sholat berjamaah dimana ia tengah berada di shaf yang pertama, kemudian ia mempersilahkan orang lain untuk menggantikan tempatnya di shaf yang pertama dalam shalat, maka perbuatan seperti ini dianggap makruh oleh sebagian ulama. Alasannya karena orang tersebut berarti tidak menginginkan kebaikan dan keutamaan berada di shaf yang pertama. Sikap seperti ini merupakan perbuatan yang makruh.

 

Sebagian ulama lainnya berpendapat mubah apabila ada maslahatnya. Misalnya, seseorang yang mempersilahkan orang tuanya pada tempatnya di shaf pertama, maka dalam hal ini dibolehkan.

 

Ketiga, Mubah.

Itsar dalam perkara yang bukan ibadah, hukumnya mubah, bahkan sangat dianjurkan dan terpuji. 

Misalnya, seorang yang memiliki makanan dan ia dalam keadaan lapar, sementara saat itu ada saudaranya yang juga lapar, maka jika seorang tersebut mengutamakan saudaranya atas dirinya padahal ia juga dalam keadaan yang sama (lapar) tentunya hal ini perbuatan yang sangat terpuji, sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.

 

Allah subhanahu wata’ala memuji para sahabat Anshar yang memiliki sifat Itsar yang mendahulukan kepertingan sahabatnya kaun Muhajirin.

 

 

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya bagi kita semua.

Aamiinh Ya Rabbal Aalamin. 

*) Disarikan dari beberapa sumber.

Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply