PERILAKU MUSLIM : TAWADHU’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun tidak banyak orang yang benar-benar memilikinya.


Menurut Ibnu Hajar, “Tawadhu’ adalah menampakkan hati lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya.
Tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.”
(Fathul Bari, 11: 341).

Pengertian Tawadhu

Al Hasan Al Basyri berkata, “Tawadhu’ adalah jika engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim, maka engkau merasa bahwa ia lebih mulia dari mu.


Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.”
(Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304).

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.”
Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu
dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.”
(Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298).


Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya.


Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat
tawadhu’.”


Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”

Keutamaan Tawadhu’


Pertama:
Mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.”
(HR. Muslim no 2588).

Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat.  Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan
dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142).

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi.


Kedua:
Adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda,
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.”
(HR. Muslim no. 2865).


Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al
Ahzab: 21).

Anas berkata: “Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.”

(HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459).


Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah
yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?”


Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.”
(HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam
kitab shahihnya no. 5676).

Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.


“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta
(Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau).”
(HR. Muslim no 771).



Wallahu A’lam bisshawab.

Semoga bermanfaat.

Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply