Tamsil Perilaku Manusia

Ustadz Riksuhadi

 

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

 

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan  ( QS. Ar-Ra’d  : 17 )

 

Dalam aspek balaghah ayat ini yang pertama mengandung tasybih tamstil yang sangat indah. Karena  Allah menyerupakan kebenaran dan kebatilan di ilustrasikan dalam bentuk benda-benda. Allah menyerupakan kebenaran dengan air bening yang jernih dan tetap berada di bumi, serta permata atau hasil tambang yang murni dan  sangat bermanfaat bagi manusia.

 

Sedangkan kebatilan Allah tamsil-kan dengan buih dan barang-barang yang tidak berguna dan  kotor yang nampak di atas air yang  tidak lama kemudian akan segera lenyap. Gambaran yang diilustrasikan dalam ayat ini adalah bentuk kebenaran dan kebatilan yang selamanya keduanya ini akan selalu berhadapan dan berlawanan sebagaimana ombak yang senantiasa mengombang ambingkan buih diatasnya.

 

“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” ini dia tamsil yang tak terhingga indahnya

 

Yang kedua, فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا (maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya) ini majaz aqli, menyandarkan perbuatan kepada tempat (al-makaaniyah) Dan pada asalnya air-air  yang berada di lembah–lembah itu yang mengalir sesuai kodratnya bukan lembahnya.

 

Yang ketiga, كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِل , (Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil ) didalamnya ada majaz dengan membuang  أمثال الحق وأمثال الباطل  (tamsil atau gambaran haq dan gambaran bathil) . (Shafwatut Tafasir)

 

Dalam tafsir as-Sa’di dikatakan bahwa, Allah mempermisalkan hati yang berhasil mengemas hidayah dan tingkatan-tingkatannya dengan lembah-lembah yang menjadi muara aliran air.

 

Lembah yang luas, akan mampu menampung air yang banyak adalah ibarat hati lapang, yang memuat ilmu yang banyak. Sedangkan lembah kecil yang hanya membutuhkan sedikit air seperti halnya hati yang sempit yang hanya memuat ilmu yang sedikit, dan demikianlah seterusnya.

 

Selanjutnya, Allah mengumpamakan nafsu syahwat dan syubhat (kerancuan) pada hati manusia saat kebenaran datang kepadanya dengan buih yang berada di atas permukaan air, dan benda yang dipanaskan di atas api berupa perhiasan yang akan dimurnikan dan dilebur untuk dimasukkan ke dalam cetakan. Ia akan tetap di atas air dalam keadaan mengambang menyebabkannya keruh sampai akhirnya hilang dan lenyap. Dan akan tersisa hal-hal yang berguna bagi manusia dalam wujud air jernih dan perhiasan yang murni.

 

seperti itu pula keadaan dengan syahwat dan syubhat, karena hati akan senantiasa membenci dan berusaha menaklukannya melalui bukti-bukti yang benar dan tekad yang bulat agar pergi dan lenyap. Hati pun menjadi bersih lagi murni, di dalamnya hanya ada hal-hal yang bermanfaat bagi manusia berupa ilmu dan kebenaran serta tindakan untuk mengutamakan dan mencintainya. Kebatilan akan lenyap, dan kebenaranlah yang menyirnakannya. “sesungguhnya kebatilan akan sirna” (Al-Isra:81).

 

Al-Qur’an banyak sekali mengajarkan tamsil-tamsil, mengungkapkan sesuatu yang bersifat imajinatif dengan sesuatu yang bersifat empiris, menghadirkan makna yang indah dengan bahasa yang singkat dan lugas juga memberikan daya semangat dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Tamsil buruk yang tercela disematkan kepada orang yang berperangai dan berperilaku buruk, sedangkan perumpamaan yang baik untuk memberikan pujian kepada orang yang berperilaku baik.

Bahkan Rasulullah juga membuat tamsil ilmu dengan air hujan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :

 

مثَلُ ما بعثَني اللهُ بهِ من الهدَى والْعِلم؛ كمثَلِ الْغَيثِ الكثيرِ، أَصابَ أرضاً، فكانَ منْها نقيَّةٌ قَبِلَتِ الماءَ، فأَنبتتِ الكَلأَ والعُشبَ الكثيرَ، وكانَت منها أَجادِبُ أَمسكَتِ الماءَ، فنفَعَ اللهُ بها الناسَ فشَربوا وسَقَوْا وزرعوا، وأَصابَ منها طائفةً أُخرى إِنما هيَ قِيعانٌ، لا تمسِكُ ماءً، ولاَ تُنبِتُ كَلأً، فذلكَ مثَلُ مَن فَقُهَ في دينِ اللهِ ونَفَعَهُ ما بعثَني اللهُ بهِ، فعَلِمَ وعلَّمَ، ومثَلُ مَن لم يَرفعْ بذلكَ رأْساً، ولم يَقبَلْ هُدَى اللهِ الذي أُرسِلتُ بهِ”.

 

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).”

 

Dalam syarah Muslim Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.

Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.

 

Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.

 

Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.

 

Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya, sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.

 

Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.

Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.”

 

 

Penulis : Ustadz Riksuhadi

Editor  : Fajar Andrianto

 

 

Donasi Ke Yayasan Babussalam Socah :

Bagikan Postingan Ini :

Leave a Reply