HASAD
Nabi shalallahu’alihi wasallam mengingatkan, Akan menjalar kepadamu suatu penyakit yang menjalar kepada umat sebelummu, yaitu hasad dan kebencian. Kebencian itu mencukur, aku tidak katakan mencukur rambut,akan tetapi mencukur agama. Demi(Allah) yang jiwaku berada ditangannya,sesumgguhnya kalian tidak masuk surga sampai beriman,dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai.Maukah aku ceritakan dengan suatu hal yang menguatkan kecintaan diantara kalian? Sebarkanlah salam diantara kalian” ( HR at-Tirmidzi ).
Hasad ini adalah penyakit paling tua dalam sejarah manusia yang kelak akan dipertanyakan oleh Allah kepada penderitanya. Orang yang terjangkit penyakit hasad ini terkadang tidak merasa kalau dirinya mengidap penyakit berbahaya ini. Iblis yang semula tataran keta’atannya kepada Allah setara para malaikat tiba-tiba menjadi makhluq pembangkang pertama lantaran terkena penyakit hasad ini, sehingga dia dilaknat dan diusir oleh Allah Subhanahu Wata’ala dari surga. Menyedihkannya justru penyakit ini ditularkan oleh Iblis kepada manusia. Dan karena penyakit ini pula Allah mengajarkan kepada kita untuk berlindung kepada Allah dari ke-hasadan orang-orang yang hasad.
Pengertian Hasad
Ulama berbeda pandangan dalan mendefinisikan tentang “ hasad” walau sesesungguhnya masih dalam tujuan yang sama .
Kata “ hasad “ , sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti “ iri” atau “ dengki”.
Ibnu Hajar mengatakan, Hasad adalah: “ seseorang ber angan-angan ( menginginkan ) hilangnya nikmat dari orang yang memilikinya”.
Hasad adalah, “sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya “. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/111)
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya, baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush Shalihin, Bab Tahrimil Hasad ).
Imam Al-Ghazali mengatakan, “ kethuilah tidaklah hasad itu kecuali kepda perkara nikmat. Jika Allah memberikan suatu nikmat kepada saudaramu, maka engkau akan mengalami satu dari dua hal. Pertama, engkau membenci nikmat tersebut dan menginginkan nikmat itu hilang, maka inilah yang disebut ” hasad”.
Atau kedua, engkau tidak menginginkan hilangnya nikmat, juga tidak membenci adanya nikmat itu pada saudaramu, tapi dalam hatimu muncul keinginan untuk memiliki nikmat yang sama dengan yang dimiliki saudaramu, maka itulah yang disebut dengan “ ghitbah “ (bila ghitbah ini terjadi kepada hal yang jelek atau maksiat maka berdosa).
Hasad adalah tidak suka atau tidak senang hati kepada segala nikmat, kelebihan, keberhasialan dan keutamaan yang dimiliki oleh orang lain yang terkadang berbentuk kekayaan, harta benda, kedudukan, kehormatan, dan sebagainya serta selalu berharap segala nikmat tersebut hilang dari orang lain.
Sebaliknya hasad ini menginginkan orang lain jatuh, celaka, berada dalam kesempitan dan kesusahan, kekurangan dan kehinaan, serta penderitaan sehingga hatinya menjadi senang.
Orang yang hasad hatinya selalu gelisah, tidak tenang, hidupnya senantiasa dihantui kecemasan dan terombang ambing, ini semua terjadi bukan karena dirinya diliputi kekurangan tetapi karena sibuk, perhatiaannya terfokus pada kelebihan yang dimiliki orang lain, sehingga lupa mengoreksi diri .
Sebab Munculnya Hasad
Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya permusuhan kenecian, takabur (sombong), ‘Ujub (bangga diri) , ambisi, bakhil serta buruknya akhlaq.
Orang yang tertanam dalam hatinya kebencian, baik karena permusuhan atau karena tersinggung dan tersakiti, ini akan menjadi penyebab terbesar munculnya api hasad pada diri seseorang , karena Kedengkian itu menuntut adanya pembalasan. sehingga apabila musuhnya tertimpa bala`, celaka, dan susah ia pun menjadi senang.
Sebaliknya, jika yang dimusuhinya memperoleh nikmat, kemenangan dan keberhasilan , maka hatinya menjadi sedih gelisah dan sesak menyempit. Dan ia merasa sangat tidak suka. Allah menggambarkan kondisi kejiwaan yang seperti ini akan dialami oleh orang-orang munafiq , sebagaimana Firman Allah :
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا
Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. ( QS. Ali Imran : 120 ).
Maka, hasad senantiasa diiringi dengan kebencian dan permusuhan.
Adapun hasad yang ditimbulkan oleh kesombongan, adanya perasaan tidak suka bila ada orang yang setingkat dengannya apalagi melebihinya, seperti bila orang yang setingkat dengannya memperoleh harta atau kedudukan maka ia khawatir orang tadi akan lebih tinggi darinya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an tentang sikap sombong Iblis disaat Allah perintahkan sujud kepada Adam karena Iblis merasa melebihi Adam:
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ () قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ
75. Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?.” Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” ( QS. Shad : 75-76 ).
Tidaklah setan dimurkai dan dikutuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan karena hasad dan sikap sombongnya terhadap Adam ‘alaihissalam.
Hasad adalah awal kemaksiatan yang dilakukan Iblis kepada Allah.
Manusia yang pertama kali melakukan hasad dibumi adalah salah seorang anak Adam, ketika kurbannya tidak diterima. Kemudian dia membunuh saudaranya sendiri .
Orang yang hasad selalu dirundung kegalauan melihat nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, seolah-olah adzab yang menimpa dirinya. Rabbnya murka kepadanya, manusia pun menjauh darinya. Tidaklah anda melihatnya kecuali selalu bersedih hati menentang keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya. Seandainya ia mampu melakukan kebaikan niscaya ia tidak akan banyak beramal dan berpikir untuk menyusul orang yang dihasadi. Dan seandainya mampu melakukan kejelekan, pasti ia akan merampas nikmat saudaranya lalu menjadikan saudaranya itu fakir setelah tadinya kaya, bodoh setelah tadinya pintar, dan hina setelah tadinya mulia. (Ishlahul Mujtama’, hal. 103-104)
Masuk Surga Dengan Tanpa Hasad
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami sedang duduk bersama Rasulullah shalalahu’alaihi wasallam, lalu Beliau bersabda : “Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga”. Maka munculah seseorang dari kaum Anshar, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shalallahu’alaihi wasallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya :
“Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, “Silahkan”.
Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya : “Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan shalat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk shalat subuh. Abdullah bertutur : “Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan.
Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ?”. Orang itu berkata : “Tidak ada, amalanku Cuma apa yang kau lihat”.
Abdullah bertutur : “Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya.”
Abdullah bin Amru bin ‘Ash berkata, “Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga), dan inilah yang (kebanyakan) kami tidak mampu.” (HR. Ahmad)
(bersambung)