Pena Babussalam, Kaderisasi muballigh dan mubaallighat atau da’i dan da’iyat bagi Muhammadiyah yang bergerak dalam bidang dakwah amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang pokok dan penting. Tanpa kaderisasi dapat dipastikan bahwa pada lembaran sejarah berikutnya, Muhammadiyah akan kehilangan ciri inovatifnya (Tajdid).
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern di masa depan sungguh menghadapi gelombang tantangan yang luar biasa. Kini kehidupan umat manusia berada dalam alam mo dern yang benar-benar sekuler, materialistis, dan hedonistic. Selain itu, kemungkaran yang terjadi semakin beraneka ragam yang sering kali diorganisasi dengan sistematis dan dengan menggunakan jaringan-jaringan komunikasi yang sangat mo dern. Misalnya, bentuk-bentuk perjudian terselubung, peng gunaan narkoba, dan minuman keras sudah sedemikian luas sehingga sulit diberantas.
Kondisi semacam itu juga telah dirasakan oleh Muham madiyah di Bangkalan. Nilai-nilai agama sudah mulai ter pinggirkan oleh akal pikiran dan pilihan-pilihan hidup yang
serba duniawi, belum lagi tantangan yang akan dihadapi ketika Jembatan Suramadu nanti telah terealisasi. Dengan terealisasi nya Jembatan Suramadu kemungkinan akan banyak orang yang berbeda kultur, bahasa, etnis, dan agama memasuki Madura yang tentu dengan segala dampak negatif dan positifnya.
Itu semua merupakan tantangan yang perlu dicarikan solusi, terutama bagaimana membendung masuknya berbagai suku dan kultur ke Madura. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan kekuatan yang dimiliki, terutama dalam menjaga stabilitas moral yang jernih dan akhlakul karimah. Kalau sudah sampai pada sisi ini, mau tidak mau peran da’i, mubaligh, ulama, dan tokoh-tokoh agama akan menjadi sangat urgent eksistensinya.
Keberhasilan sebuah organisasi dalam menjalankan visi dan misinya terletak pada keandalan sumber daya insani dan keberlangsungan misinya. Sedangkan sumber daya insani yang militan, andal, dan memiliki loyalitas yang tinggi tidak dapat dicapai hanya dengan bentuk-bentuk pembelajaran yang sangat sederhana, ataupun dengan pelatihan-pelatihan sesaat yang tidak ada proses kelanjutannya. Di sisi lain bentuk bentuk perkaderan Muhammadiyah yang dilakukan selama ini dirasakan kurang memadai.
Kader tidak bisa dilahirkan dalam tempo yang sangat singkat (instant), tanpa melalui proses pelatihan dan kaderi sasi yang mapan. Kader-kader tersebut terbentuk melalui pembinaan dalam ajang pelatihan sebagai wahana untuk men didik kader yang terencana dan berkeseimbangan (pengaderan formal, nonformal, dan informal). Pada dasarnya, pemben tukan kader tidak bisa terlepas dari proses kaderisasi dan pendidikan yang harus dijalaninya dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Seperti halnya pendidikan, pengaderan juga harus dijalani sepanjang hayat dalam kapasitasnya sebagai ang gota atau fungsionaris pimpinan organisasi. Banyak perguruan tinggi Muhammadiyah yang terdapat di berbagai wilayah dan daerah, terutama di kota-kota besar dirasakan masih belum mampu menciptakan kader yang betul-betul Muhammadiyah. Padahal, sebenarnya PTM (Perguruan Tinggi Muham
madiyah) yang ada pada dasarnya merupakan salah satu alter natif wadah pembinaan dan pendidikan kader-kader Muham madiyah. Akan tetapi, sampai saat ini PTM belum dapat difungsikan secara maksimal. Peran dan fungsi PTM masih terbatas dalam ruang lingkup proses belajar mengajar dan pendidikan yang berorientasi untuk mengantarkan mahasiswa guna memperoleh gelar akademis kesarjanaan. Peran dan fangsi PTM sebagai pembinaan dan pendidikan kader sering terabaikan. Padahal, seperti yang pernah diungkapkan oleh Harry J. Benda bahwa keberhasilan Muhammadiyah yang luar biasa (out standing success) juga didukung oleh kegiatan kegiatan lembaga pendidikan, baik di kalangan orang tua maupun pemuda.
Keberadaan sekolah kader di Muhammadiyah dirasa kan mampu menjawab permasalahan krisis kader, seperti Muallimin di Yogyakarta yang dikelola oleh Muhammadiyah misalnya, telah mampu melahirkan mubaligh-mubaligh, ulama-ulama andal, dan pemimpin-pemimpin yang militan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan kemudian yakni bagai mana dengan kader yang diharapkan tumbuh dari daerah daerah lain di luar Yogyakarta, atau bahkan di pelosok-pelosok ranting yang jauh terpencil atau bahkan minoritas, misalnya Bangkalan. Sampai saat ini wilayah Muhammadiyah Jawa Timur saja belum memiliki sekolah kader.
Padahal, kompetensi da’i berkaitan dengan sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan perilaku serta keterampilan tertentu harus ada pada diri mereka agar dapat melakukan fungsinya dengan memadai. Perguruan Tinggi Muhammadiyah seharusnya memerhatikan pentingnya per soalan ini, terutama FAI-nya untuk mengembangkan
pola yang langsung tepat sasaran. Misalnya, dengan membuka sayap-sayap perkaderan da’i dan da’iyah di semua wilayahnya. Hal itu sesuai dengan asas dan tujuan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam poin kedua, yaitu mengamalkan, mengembangkan, menciptakan, menyebarkan ilmu penge tahuan, teknologi, dan kesenian dalam rangka memajukan Islam dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Eksistensi FIAD Bangkalan yang awalnya dimotori oleh ketua MPKSDI PDM Bangkalan telah mulai dirasakan peranannya oleh masyarakat, terutama oleh warga Muham madiyah daerah Bangkalan. Hal ini terlihat dengan dimanfaat kannya sebagian besar mahasiswa FIAD untuk menjadi khotib di setiap masjid Muhammadiyah di Bangkalan. Bahkan ada sebagian lagi yang telah diterima di masjid-masjid di luar Muhammadiyah. Kondisi semacam itu direspons secara positif oleh seluruh cabang Muhammadiyah daerah Bangkalan. Ini terbukti dengan permintaan kepada mahasiswa FIAD untuk menjadi khotib di masjid-masjid cabang, terutama pada saat bulan Ramadhan.
Pengelolaan FIAD Bangkalan secara keseluruhan selama ini dikelola oleh sebagian besar mahasiswa-mahasiswa semes ter awal. Padahal, untuk menciptakan sistem kaderisasi muba ligh dan muballighat yang kontinu, efektif, dan proporsional tentunya sangat membutuhkan tenaga pengelola yang profesional dan militan. Sayangnya tenaga-tenaga seperti itu masih belum sepenuhnya tersedia, khususnya di Bangkalan. Hal ini yang kemudian menjadi kendala utama dalam proses kelanjutan kaderisasi tersebut di Bangkalan.
Untuk menghasilkan muballigh Muhammadiyah yang andal, tidak hanya dilakukan pengaderan secara informal, tetapi juga perlu dilakukan secara formal. Untuk memenuhi kebutuhan kader muballigh di Bangkalan, FIAD Bangkalan telah mempersiapkan mahasiswa-mahasiswanya untuk men jadi calon-calon muballigh dengan dibekali pengetahuan
agama, kemampuan komunikasi dan moralitas yang tinggi. Bahkan, dilihat dari kurikulum yang ada, FIAD sudah layak dijadikan lembaga perkaderan muballigh muda Muham madiyah.
Respons masyarakat terhadap para mahasiswa yang diterjunkan menjadi kothib-kothib di berbagai masjid juga cukup baik. Sejumlah mahasiswa yang ditugaskan sebagai muballigh tetap di musahalla-mushalla, dan di beberapa masjid Muhammadiyah telah menjadi ujung tombak dalam perkem bangan Muhammadiyah di Bangkalan. Di sisi lain mahasiswa yang kuliah di FIAD layak dijadikan kader, mengingat moti vasi dari sebagian besar mahasiswa memasuki FIAD Bangkalan yakni untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan dan siap ditugaskan di berbagai daerah.
Penulis : Ustazah Sarifah Baroroh, S.Th. I
Sumber : Islam Varian Rasio Dalam Diskursus Cendekiawan