gambar santri babussalam socah
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini; dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk jikalau Allah tidak memberi petunjuk kepada kami. Sesungguhnya, telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran. Diserukan kepada mereka, “ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan amalan yang dahulu kamu kerjakan.”
Jamaah Rahimakumullah.
Tawaddhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun tidak banyak orang yang benar-benar memilikinya.
Menurut Ibnu Hajar, “Tawaddhu’ adalah menampakkan hati lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Tawaddhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)
Pengertian Tawaddhu’
Kata tawadhu berasal dari kata wadh’a yang berarti merendahkan, dan juga berasal dari kata “ittadha’a” yang berarti merendahkan diri.
Menurut Al Hasan Al Basyri, “Tawaddhu’ adalah jika engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim, maka engkau merasa bahwa ia lebih mulia dari mu.”
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawaddhu’.
Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawaddhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawaddhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”
Urwah bin Al Warid berkata, “Tawaddhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawaddhu’.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”
Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”
Keutamaan Tawaddhu’
Keutamaan tawaddhu’ sangat luar biasa. Berikut ini adalah keutamaan tawaddhu’ yang menjadi salah satu sifat terpuji dalam Islam
Pertama: mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawaddhu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat.
Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawaddhu’nya di dunia (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Tawaddhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi.
Kedua: adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Tawaddhu’ dapat mendatangkan keselamatan, persahabatan, menghapuskan dendam dan menghilangkan pertentangan.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda,
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawaddhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
Anas berkata:
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459.
Itulah sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.
Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?”
Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676.
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawaddhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta. (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Ketiga, meningkatkan rasa syukur dan menjauhka dari penyakit hati
Abu Bakar Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
Orang yang mulia kedudukannya ialah orang yang tawadhu dan ia akan selalu bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki dirinya dan melakukan segala sesuatu amalan dan mencari ilmu yang lebih baik.
Selain itu tawadhu akan menjauhkan diri dari penyakit hati sebab ia merasa bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh Allah adalah sudah cukup dan sudah menjadi yang terbaik untuknya sehingga ia terus berusaha jika menginginkan sesuatu dalam rangka untuk beribadah dan untuk mencari ridho dari Allah. Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri, kecuali pada sifat tawadhu.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua.
Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.
Penulis : Prof Maksum Radji
Editor : Fajar Andrianto